Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksLatest imagesPendaftaranLogin

 

 Karya Hancur

Go down 
PengirimMessage
Arishima Sora
Leader
Arishima Sora


Kelas : 2

Karya Hancur Empty
PostSubyek: Karya Hancur   Karya Hancur I_icon_minitimeThu Jul 15, 2010 11:06 am

Title: Little Game
Author: Sora
Pairing: Arishima Sora - NPC (no name)
Genre: mature
Rating: PG-15
Disclaimer: all (c) sora
Author's note: mengandung konten agak vulgar, tapi masih terbatas. Ada satu NPC di sini tapi murni karangan saya, tidak diambil dari mana-mana. Jika ada yang merasa ciri fisiknya menyerupai, berarti itu kebetulan saja. Dan ini OUT OF PLOT! Jelas.


Little Game


Bagaimana semua ini bermula? Tak ada satu pun di antara kita yang tahu.

Kau telah ada di sana, berdiri dalam diam dan kesabaran tinggi selama aku di sini berbalut seragam putih-putih dan menyandang sabuk hitam pada pinggangku. Di bawah atap doujo yang sama. Terkadang saling bertemu pandang ketika mataku tanpa sengaja menerima keberadaanmu di ambang pintu sana sebagai salah satu objek dalam sudut pandangku. Mengganggu?

Dan kini kita berdua telah ditinggalkan sendiri. Kau datang menghampiriku dengan secuil keberanian yang terpapar pada senyum di wajahmu. Suaramu anggun bagai sebuah bisikan menyusupi telingaku. Memanggil namaku, mengalihkanku dari kesibukanku mengeringkan peluh sehabis latihan dengan handuk kecil. Iris biru langitmu bertemu dengan iris cokelat gelapku.

Pernahkah aku mengungkap sebuah rasa yang hampir selalu menggelitikiku, bahwa aku menyukai warna iris matamu? Dan setiap kali aku memandanginya, aku seolah merasa melihat langit yang sesungguhnya. Ditambah sosokku yang terefleksi samar di sana, seolah menyaksikan diriku berdiri menggantung di awang-awang biru.

“Capek, ya?” begitu katamu, sembari menyodorkan minuman kaleng kepadaku.

Tanganmu begitu kecil dan berwarna pucat. Jemarimu dingin ketika jemariku tak sengaja menyentuhnya. Seulas senyum kuguratkan pada wajahku ketika ujaran “terima kasih” itu kusampaikan dengan kekuatan yang sama seperti pada hari-hari yang biasa kulalui. Kemudian kau membalasnya dengan senyuman yang lebih antusias. Kau menyimpan rapi kedua tanganmu di depan tubuhmu, saling bertautan. Kau mengangkat sedikit dua bahumu ketika kau menelengkan kepalamu sambil membuat senyuman itu.

Tentunya hal sekecil ini sudah membuatmu cukup senang, kan? Kau memberiku sesuatu dan aku menerimanya. Tak hanya hari ini, namun juga hari-hari lain yang terus berulang selama sebulan terakhir ini. Selalu.

Ah, mungkin kau yang lebih menyadarinya daripada aku. Karena posisiku yang ada dalam kuasa pengawasanmu dalam setiap kegiatanku. Sesekali aku juga menyadari keberadaanmu sebagai seorang yang selalu melambaikan tangan padaku. Meski balasan dariku hanya seulas senyuman tanpa rasa.

Dan mungkin kau salah paham tentang itu.

“Sejujurnya, sudah lama aku ingin mengatakan hal ini kepada Arishima-kun,” malu-malu, kau menunduk untuk menyembunyikan wajahmu yang bersemu merah. Jari-jari yang tersimpan rapi pun mencuat dari perlindungannya, bergerak-gerak gelisah saling meremas.

Kini adalah saatnya kedudukan antara kita berbalik. Kau berada dalam pengawasanku. Kau terjebak dalam situasi yang kau buat sendiri. Dan aku hanya berdiri diam di sini, menunggu penyelesaian macam apa yang akan kaubuat. Sampai tiga puluh detik lamanya hingga kebosanan menggerogoti kedua kakiku, kau hanya terdiam dan menunduk. Menyusun ulang kata-kata, seolah semua yang sudah kaurencanakan mendadak hancur dengan indahnya seperti puzzle yang berserakan.

Dan potongan-potongan puzzle itu harus kaususun ulang agar menjadi satu susunan kalimat yang mengandung makna tak main-main.

Kemudian kau mengangkat wajahmu dengan amat mantap. Memaksaku menerima semua perhatianmu penuh-penuh, memaksaku mencurahkan segenap perhatianku banyak-banyak hanya kepadamu seorang. Menciptakan sebuah situasi di mana ego seorang vampir wanita merajainya.

“Aku selama ini selalu menyukai Arishima-kun.”

Suaramu lantang, menggema di sudut-sudut dojo. Disusul oleh keheningan yang pasti. Terpaku, terpana—aku hanya bisa tetap bergeming dalam posisiku, memandangimu tanpa pernah mengharapkan kalimat itu yang akan meluncur keluar dari bibirmu yang kini kaugigit sendiri. Dengan taring yang kaumiliki, kau bisa saja menorehkan luka di sana. Padahal bibir itu adalah salah satu pesona yang kaumiliki. Sungguh sayang kalau terluka hanya karena jiwamu dibetot oleh kegugupan dan kecemasan atas jawaban macam apa yang akan kuberikan.

Tapi aku hanya mendiamkanmu selama beberapa saat keheningan itu. Tentunya tidak dengan kesengajaan. Karena aku juga mendadak kehilangan kata-kata. Tak pernah terlintas dalam benakku kalau kau akan menyatakan hal yang selama ini kaurasakan tentang diriku. Memang, aku mengakui bahwa sebagai makhluk non-manusia yang hanya meneruskan garis keturunan kedua orangtuamu, kau cukup cantik. Rambut hitam lurus yang tergerai lembut pada kedua bahumu, senyum manis yang memikat banyak hati lelaki, rona merah pada kedua pipimu setiap kali kita bertemu pandang—aku tak membenci yang manapun bagian dari tubuhmu.

Aku hanya tak memikirkanmu sedemikian istimewanya. Biru langit warna manik matamu juga hanya merupakan penghiburan semata bagiku. Dan jika kau terperangkap pada diriku, dari sisi manapun dalam diriku, maka kau harus mulai memikirkan bahwa aku memperlakukan semua orang dalam kapasitas yang sama.

Kau tak pernah benar-benar ada di dalam hatiku.

Dan tampaknya kau bisa menebak apa yang ada dalam pikiranku karena kau memasang wajah itu di hadapanku. Dua alis hitammu bertautan. Pipimu menggembung, entah ada berapa banyak kata-kata sarkas di dalam sana yang sedang kaukumpulkan untuk nantinya kaulontarkan dalam volume tinggi. Tensi yang sedari tadi kauciptakan, nampaknya kini meningkat drastis tanpa dirimu sendiri menyadari. Lengkungan manis rupawan kauputar sudutnya hingga tampaklah kengerian yang mungkin selama ini kaututupi dengan usaha amat keras. Lalu matamu yang selama ini menjadi objek yang paling kusukai darimu, kini penuh dengan kilat nyalang seorang pemangsa manusia.

Kau marah. Tak mau menerima penolakan non-verbal dariku. Kemudian aku seolah melihat kenyataan yang selama ini hanya kupelajari dari puluhan buku, bahwa wanita adalah makhluk dua wajah. Satu diantaranya hanyalah topeng yang pasti akan dikenakan untuk menutupi jati dirinya. Tinggal menunggu waktu dan situasi yang tepatlah hingga nanti wajah aslinya terbongkar. Ternyata, hal demikian tak hanya dijumpai pada manusia—vampir pun tak terkecuali.

Okashikunai mitai na? Bukan pemandangan yang aneh, rupanya. Entah mengapa, aku merasa beruntung dan terhormat, bisa melihat sisi lain wajahmu tanpa menunggu menit berganti jam. Tanpa kita sempat mengisi sejumlah waktu lebih banyak dengan kebersamaan palsu.

BRAK!

Rasa sakit menjalari punggung dan belakang kepalaku yang menghantam lantai dalam posisiku menelentang. Rasa pusing menyusul, mengisi kepalaku dengan bongkahan molekul padat yang mendentum-dentum hebat memukuli tengkorakku dari dalam. Perlu beberapa detik hingga aku bisa menerka; aku telah dijatuhkan oleh seorang gadis dari kaum yang dekat dengan keabadian.

Kau duduk di atasku. Mengunci semua gerakanku. Sementara dua telapak kakimu membelenggu rapat-rapat dua tanganku, tangan-tanganmu yang dingin itu menggerayangi tubuhku. Dari sisi pinggang naik ke dada, leher, dan menyusupi surai hitam milikku. Kau tampak begitu bergairah dengan napsu duniawi yang kini begitu menguasaimu. Setiap hela napasmu yang sampai ke wajahku terasa panas dan memburu. Dari balik helai lembut rambutmu, kudengar sebuah bisikan dari sang putri malam, “Biarkan aku mencuri sedikit bagian darimu, kalau begitu.”

“Kau tak takut dengan apa yang menantimu usai ini?” diucapkan dengan tenang oleh bibir Ketua OSIS Renraku Gakuen—aku. “Bisakah kita membicarakan ini baik-baik, Nona...?”

Sebuah jari telunjuk mendarat di bibirku, mengatupkannya. Sedang kau tersenyum, menyeringai, tertawa melengking nyaring mistik. Kau mengira kau telah menakutiku. Kau mengira kau telah menang dari ketidakberdayaanku. Kau mengira perbedaan gender di antara kita membuatku harus mengurung intensi perlawanan. Kau menunduk, menghadapiku dengan mata yang menyiratkan semua itu. Sekali lagi, kau menciptakan senyuman nakal milik seorang vampir kecil yang belum dewasa.

“Benar-benar deh, kau sangat terobsesi menegakkan peraturan konyol tak berguna itu. Apa aku tak lebih penting dari tumpukan sampah di atas mejamu itu, hm?” kau berkata sambil mencemooh regulasi sekolah seolah-olah kau bisa meremas buku peraturan sekolah, menggumpalkannya membentuk bola, kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Ayolah, rilekslah sesekali."

Bujuk rayumu disampaikan dengan desisan sempurna. Tapi tak cukup sempurna untuk bisa merenggut jiwa ragaku. Dan jika kau mengira kau berhasil menakutiku dengan permainan kecil ini, maka kau harus mengubah pikiranmu. Karena aku tak memiliki rasa takut sekaligus keberanian. Juga benci dan suka terhadap dirimu.

Aku hanyalah manusia yang diisi oleh kehampaan.


Kembali kau asyik dengan diriku yang sengaja diam. Lidahmu menari-nari pada wajahku, turun ke leher.

“Itu daerah terlarang,” sekali lagi aku memperingatkanmu.

Dan kau hanya cemberut manja. Menggembungkan lagi dua pipimu, mengerucutkan bibirmu, memandangiku dengan keliaran level menengah. Kau mencubit pipiku, gemas. Lalu kau mengecupku. Bibirmu mencengkeram rapat bibirku, mengunci lebih parah tiap kata-kata peringatan yang sudah mengantri ingin dikeluarkan. Lidahmu menerobos paksa katupan bibirku, menari-nari lagi sambil mengulumi organ bicaraku ini. Wajahmu yang amat lekat dengan wajahku memblokir jalan udara.

Lama sekali kau memuaskan dirimu dengan ciuman pertamaku ini. Kau bahagia bisa mencurinya. Hatimu kini pasti dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni dan berkilauan tetesan embun. Kau merasa menjadi nomor satu, yang nantinya pasti akan merasa berhak untuk mengganggu gadis lain yang lebih pantas berbagi hati denganku. Kau sok.

Ketika oksigen akhirnya menghambur masuk ke rongga hidung dan semerbak di paru-paruku, kau telah tertawa begitu kerasnya. Kau mengabaikan napasku yang tersengal, termasuk timing yang telah kuperhitungkan sejak tadi. Kau lengah.

Kakiku masih bebas, kau ingat?


Untuk seorang judoka sepertiku, mudah sekali memutar posisi. Diriku di atas, kau di bawah. Itulah yang kulakukan terhadapmu. Bola matamu melebar, raut wajahmu dipenuhi ketekerjutan—yang kemudian berubah kembali dipenuhi keriangan asing yang tak semestinya. Kau merangkulku, meraihku ke dalam dekapanmu.

Kutarik lepas diriku darimu. Kali ini biar kutegaskan bahwa aku bukan milikmu. Aku bukan mainanmu. Dan permainan ini harus diakhiri.

“Ruang OSIS pukul 10 malam hari ini,” desisku pada lubang telinganya, setelah kusibakkan surai hitam pengganggu milikmu. “Detensi sudah menunggumu. Kau tak akan bisa lolos dari segala upayamu untuk kabur.”

Aku bangkit dan berjalan meninggalkanmu yang kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Tak perlu bertanya apa yang lucu karena aku sendiri juga, kalau ada pada posisinya, akan melakukan hal yang sama.

Pintu gelanggang menutup. Menyisakan seorang aktris di dalamnya.

Permainan kecil malam ini, berakhir sampai di sini.



[FIN]
Kembali Ke Atas Go down
 
Karya Hancur
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
 :: Author's Zone :: Creative Zone :: FanFic-
Navigasi: